Jumat, 04 Desember 2015

Datang seseorang kepada Imam Ali bin Abi Thalib kw, kepada beliau seseorang itu bertanya,”Berapa jarak antara kebenaran dan kebatilan?”
Imam Ali tidak menjawab, beliau menyuruh Imam Hasan untuk memberikan jawaban. “Sejarak lima jari tanganmu yang engkau rapatkan” begitu jawaban Imam Hasan.


Lima jari rapat tersebut adalah jarak antara indera pengelihatan (mata) dan indera pendengaran (telinga), Imam Hasan telah menjelaskan secara demonstratif tentang metodologi tabayun yang diperintahkan Tuhan dalam Al Qur’an, bahwa pondasi dasar kebenaran itu harus dapat diverifikasi melalui instrumen-instrumen epistemologis, sehingga sebuah kebenaran yang sahih akan didapatkan.

Franz Rosenthal telah menulis sebuah buku berjudul The Technique and Approach of Muslim Scholarship (yang kemudian dialihbahasakan oleh Mizan dengan judul Etika Kesarjanaan Muslim), dalam bukunya ia menelusuri jejak kaum muslim Syiah dan Sunni dalam memverifikasi sebuah kebenaran, bagaimana etika para sarjana Muslim Sunni dan Syiah dalam membakukan perintah Illahi tentang tabayun dalam tradisi kesarjanaan Muslim menjadi sebuah ajaran akhlak dalam kehidupan ilmiah.

Kini tabayun sebagai sebuah metode telah berkembang pesat, dalam dunia sains fisika terdapat metode doubt, dalam ilmu-ilmu sosial dikenal metode fenomenologis, ilmu jurnalistik menamainya dengan chek and balance, bahkan dalam praktek pemberdayaan masyarakat tabayun juga digunakan, sebelum sebuah program diimplementasikan di suatu daerah, para praktisi pemberdayaan menamainya dengan metode partisipasi.

Jika diperhatikan dari rentang perkembangan metodologi tabayun yang sudah bergerak kearah yang canggih, munculnya ANNAS merupakan kemunduran sejarah, bahkan kemunduran dari penyikapan terhadap doktrin Illahi yang di firmankan dalam Al Qur’an. Dalam keawaman, kadang ummat dibuat heran – tidak perlulah kita mengasumsikan mereka untuk menggunakan metode-metode ilmiah yang njlimet, cukup menggunakan tradisi budaya timur orang Indonesia saja- orang-orang sederhana di desa-desa itu, bila mendapatkan berita yang belum pasti, mereka akan menggunakan media musyawarah untuk memverifikasi (orang Jawa mengistilahkan dengan nakyinke alias memastikan).

Dalam kacamata kita – yang dari kampung ini-, orang-orang ANNAS itu adalah orang dengan kompetensi keagamaan yang diatas masyarakat awam, mereka terhimpun dalam lembaga dan organisasi, dan secara ekonomi memiliki kekuatan yang sanggup untuk wira-wiri ke luar negeri tiap minggunya. Tetapi mengapa mereka tidak mengikuti rekan-rekan mereka seperti Prof Dr Imam Suprayoga, MA, KH. Dr. Mustamin Arsyad, Prof Dr Quraish Shihab, KH Hazim Muzadi, KH Said Aqil Siradj, Buya Syafei Ma’arif, Prof. Dr Din Syamsudin, Prof DR Hamdan Juhannis, MA, dll untuk nakyinke ke sumber Syiah.

Bukankah secara rombongan mereka dapat secara resmi ke Iran -untuk melihat dan mendengar langsung dari ulama-ulama Syiah sendiri-, lalu berkeliling ke Iran untuk melihat komunitas-komunitas Ahlusunnah di Iran sana dan dapat melihat bagaimana mut’ah itu dijalankan, apakah seperti yang dituduhkan selama ini ataukah justru jauh dari kenyataan, untuk datang ke Iran mekanismenya pun tidaklah terlampau rumit dan sulit, mereka dapat mengirimkan permohonan kepad Duta Besar Republik Islam Iran sebagi tamu kenegaraan dalam kepentingan untuk tabayun soal Syiah- untuk diteruskan ke pemerintah Iran.

Dengan begitu seluruh isu yang selama ini dianggap meresahkan — sampai harus membentuk ANNAS– dapat segera diverifikasi kebenarannya melalui sumber utamanya. Bukankah cara tersebut sangat mudah?

Dan yang lebih penting mereka tidak perlu khawatir setelah mendapat penjelasan kemudian mereka menjadi Syiah, bukankah beliau-beliau yang datang tersebut tidak berubah menjadi Syiah? Masih tetap di Muhammadiyah dan NU bukan?[metroislam] 

0 komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Kata Tokoh

Seri Kekejaman ISIS

Video




VIDEO Terbaru

Random Post

pks