Oleh : Prof. Sumanto alqurtuby**
Pemerintah, tokoh masyarakat, aparat, dan semua elemen bangsa tidak perlu ragu untuk menindak tegas pada berbagai tokoh dan ormas keagamaan yang bersikap “miring” dengan fondasi-fondasi kenegaraan dan kebangsaan. Tidak perlu ragu untuk “menertibkan” berbagai kelompok keagamaan yang tidak mau hidup toleran dan berdampingan secara damai dengan orang dan umat lain. Tidak perlu berpikir “dua kali” untuk “menertibkan” berbagai aturan dan perda-perda yang justru memicu intoleransi dan permusuhan. Tentu saja “penertiban” itu harus dilakukan dengan cara damai, tidak boleh melalui cara-cara kekerasan.
Pula, tidak usah khawatir “dicap” tidak agamis atau tidak Islami jika kita melakukan kritik dan tindakan tegas pada sejumlah kelompok Islam yang intoleran, urakan, arogan, dan mau menang sendiri, atau jika “menertibkan” perda-perda intoleran dan anti-kemajemukan. Kenapa tidak perlu khawatir? Karena sesungguhnya merekalah yang justru tidak agamis dan tidak Islami. Mereka pulalah yang justru telah secara terang-benderang menodai dan merusak citra Islam. Mereka pula yang telah “mengebiri” dan “membonsai” spirit Al-Qur’an yang maha luas. Bahkan mereka pulalah yang sejatinya yang telah merendahkan martabat agung Nabi Muhammad dan Tuhan.
Aksi sejumlah mahasiswa Institut Kesenian Yogyakarta (?) yang menolak secara damai kehadiran dan propaganda omong-kosong HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) tentang Khilafah, misalnya, perlu didukung oleh publik luas. Tidak perlu ragu untuk menindak tegas HTI dan ormas-ormas keagamaan sejenis yang menolak ideologi Negara Pancasila, apalagi mereka yang sering bikin onar dan meresahkan masyarakat seperti FPI dan saudara-saudaranya.
Bukannya anti-Islam, menolak HTI, FPI dan ormas-ormas “miring” sejenis lainnya justru tindakan yang sangat Islami dan bernilai ibadah. Saya sudah bilang berkali-kali, jangan terpancing dengan jualan Khilafah Hizbut Tahrir (HT, termasuk HTI). Konsep Khilafah itu tidak “Islami” apalagi “Qur’ani”. Bahkan konsep dan sistem Khilafah yang diusung oleh HT itu jelas-jelas “bid’ah” dan menyimpang dari kanon resmi, kaidah, dan etika kepolitikan yang dimandatkan Al-Qur’an dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan generasi Islam awal.
Perlu saya tegaskan lagi, Al-Qur’an tidak mengatur sistem kepolitikan-pemerintahan-perekonomian yang baku lengkap dengan juklak dan juknis. Al-Qur’an hanya berisi “etika” dan “norma” universal (seperti keadilan, kesejahteraan, kedamiaan, dlsb) yang bisa diterapkan oleh sistem kepolitikan-pemerintahan-perekonomian apapaun: kerajaan, kesultanan, federalisme, unitarianisme, sosialisme-komunisme dan seterusnya.
Karena tidak ada “juklak” dan “juknis” yang ceto welo-welo tentang sistem politik-pemerintahan dan perekonomian itulah kenapa sejak era Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin sampai zaman modern saat ini, umat Islam dan negara-negara mayoritas Muslim menganut berbagai sistem politik-pemerintahan dan sistem perekonomian. Para pemimpin negaranya juga bermacam-macam namanya: presiden, raja, amir, sultan, sharif, shaikh, pokonya banyak deh. Tapi yang jelas tidak ada yang bernama “khalifah”.
Jika mereka mengklaim bahwa konsep dan tindakan mereka itu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, maka kita pun bisa mengklaim yang sama: karena banyak sekali ajaran Al-Qur’an-Hadis dan norma-norma keislaman yang mengajarkan sikap dan tindakan toleran, humanis, pluralis, demokratis, dlsb. Jadi, kenapa ragu?
Sumber: Akun Facebook Sumanto Al-Qurtuby
0 komentar:
Posting Komentar